Masyarakat Jawa Barat, yaitu masyarakat Sunda, mempunyai
ikatan keluarga yang sangat erat. Nilai individu sangat tergantung pada
penilaian masyarakat. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, seperti
terhadap perkawinan, pekerjaan, dll., seseorang tidak dapat lepas dari
keputusan yang ditentukan oleh kaum keluarganya. Dalam masyarakat yang lebih
luas, misalnya dalam suatu desa, kehidupan masyarakatnya sangat banyak
dikontrol oleh pamong desa. Pak Lurah dalam suatu desa merupakan “top leader”
yang mengelola pemerintahan setempat, berikut perkara-perkara adat dan
keagamaan. Selain pamong desa ini, masih ada golongan lain yang dapat dikatakan
sebagai kelompok elite, yaitu tokoh-tokoh agama. Mereka ini turut selalu di
dalam proses pengambilan keputusan-keputusan bagi kepentingan kehidupan dan
perkembangan desa yang bersangkutan. Paul Hiebert dan Eugene Nida,
menggambarkan struktur masyarakat yang demikian sebagai masyarakat suku atau
agraris.
Perbedaan status di antara kelompok elite dengan masyarakat
umum dapat terjadi berdasarkan status kedudukan, pendidikan, ekonomi, prestige
sosial dan kuasa. Robert Wessing, yang telah meneliti masyarakat Jawa Barat
mengatakan bahwa ada kelompok
“in group” dan “out group” dalam struktur
masyarakat. Kaum memandang sesamanya sebagai “in group” sedang di luar
status mereka dipandang sebagai “out group.
W.M.F. Hofsteede, dalam disertasinya Decision-making
Process in Four West Java Villages (1971) juga menyimpulkan bahwa ada
stratifikasi masyarakat ke dalam kelompok elite dan massa. Elite setempat
terdiri dari lurah, pegawai-pegawai daerah dan pusat, guru, tokoh-tokoh
politik, agama dan petani-petani kaya. Selanjutnya, petani menengah, buruh
tani, serta pedagang kecil termasuk pada kelompok massa. Informal leaders,
yaitu mereka yang tidak mempunyai jabatan resmi di desanya sangat berpengaruh
di desa tersebut, dan diakui sebagai pemimpin kelompok khusus atau seluruh
desa.
Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan
kerabat atau keluarga dalam masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat
penting. Hal itu bukan hanya tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi
setiap tingkat hubungan itu yang langsung dan vertikal (bao, buyut,
aki, bapa, anak, incu) maupun yang tidak langsung dan horisontal (dulur,
dulur misan, besan), melainkan juga berdampak kepada masalah ketertiban dan
kerukunan sosial. Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati kedudukan
lebih tinggi dalam struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak,
incu, alo, suan. Begitu pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi
(adik), ua lebih tinggi dari paman/bibi. Soalnya, hubungan kekerabatan
seseorang dengan orang lain akan menentukan kedudukan seseorang dalam struktur
kekerabatan keluarga besarnya, menentukan bentuk hormat menghormati, harga
menghargai, kerjasama, dan saling menolong di antara sesamanya, serta
menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya pernikahan di antara anggota-anggotanya
guna membentuk keluarga inti baru.
Pancakaki
dapat pula digunakan sebagai media pendekatan oleh seseorang untuk mengatasi
kesulitan yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang lebih tinggi derajat
pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah, melebihi dari
yang sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya.
Kenapa tertarik untuk menulis tentang sunda?
BalasHapusKamu orang sunda? tapi di Surakarta
salam dari Urang Sunda